Category Archives: Sejarah

MAPHILINDO & Rangkaian Peristiwa 1961 – 1966

Pertemuan Tingkat Tinggi, Manila 1963

Mencakup lebih dari 2,5 juta meter persegi, menjadikan Maphilindo negara terbesar ke-10 berdasarkan luas wilayah. Memiliki kendali penuh atas titik-titik strategis seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Dengan mempertimbangkan luas wilayah, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Dengan sejuta potensi yang dimiliki, mampukah Maphilindo menjadi negara super power? Dan mengapa pada akhirnya Malaysia, Filipina dan Indonesia tidak bersatu? Untuk mencari jawaban tersebut, mari kita kembali ke tahun 1961.

Latar Belakang

Pada 1961, Kalimantan terbagi menjadi empat wilayah administrasi. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, yang kemudian dinamakan Sabah. Di selatan Kalimantan, terdapat provinsi yang merupakan daerah territorial Indonesia.  Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, dengan membentuk Federasi Malaya.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Federasi Malaya hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaya hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan Asia Tenggara sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga mengajukan klaim atas Sabah, dengan pendapat kawasan tersebut memiliki hubungan historis dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Konflik Filipina-Malaysia kemudian memunculkan organisasi baru yang dicetuskan oleh Presiden Filipina Diosdado Macapagal yang berkeinginan untuk membentuk Konfederasi Melayu Raya (Greater Malay Confederation). Konfederasi tersebut muncul sebagai langkah untuk menyelesaikan konflik antara Filipina dan Malaysia serta konflik antara Malaysia dan Indonesia.

Pada 30 Juli – 5 Agustus 1963, diadakan pertemuan tingkat tinggi di Manila yang dihadiri perwakilan ketiga negara, yakni Soekarno, Tunku Abdul Rahman, dan Diosdado Macapagal. Konferensi ini menghasilkan tiga kesepakatan yakni Manila Accord, Manila Declaration, dan Joint Statement dari ketiga negara.

Dalam Manila Accord, Filipina dan Indonesia menyetujui untuk menerima pembentukan Federasi Malaya dengan suatu referendum yang organisir oleh PBB. Sedangkan Manila Declaration berisi pernyataan antara Indonesia, Filipina dan Malaysia. Dalam komitmennya mematuhi prinsip-prinsip kesetaraan hak dan penentuan nasib sendiri yang didasarkan pada piagam PBB, mewujudkan kerjasama diantara tiga negara tersebut, melawan kolonialisme dan imperialisme, menjadikan ketiga negara ini sebagai kekuatan baru. Pertemuan ini menyetujui berdirinya organisasi regional yang kemudian dikenal dengan nama Maphilindo yang merupakan akronim dari tiga negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Namun siapa sangka, pertemuan tersebut menjadi pertemuan terakhir. Hubungan Filipina – Malaysia serta Indonesia – Malaysia bukannya membaik, namun berakhir dengan operasi bersenjata.

Konfrontasi Indonesia – Malaysia

Puncaknya pada tanggal 16 September 1963, sebelum ada hasil dari pemilihan dilaporkan, Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri tanpa perlu campur tangan pihak asing. Namun Presiden Soekarno melihat hal ini sebagai pelanggaran Manila Accord dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

Keesokan harinya terjadi demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno serta lambang negara Indonesia ke depan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia ketika itu—dan memaksanya untuk menginjak lambing negara Indonesia, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan berhasrat melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan “Ganyang Malaysia”.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatra yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.

Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Menurut Majalah Angkasa Edisi 2006, tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari” oleh warga Malaysia.

Berakhirnya Konfrontasi Indonesia – Malaysia

Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September PKI. Karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Filipina berusaha untuk mempertemukan Indonesia dan Malaysia untuk menyelesaikan konflik. Menteri Luar Negeri Filipina Narciso Ramos mengusahakan untuk mengadakan perundingan mencari jalan damai antara Indonesia dengan Malaysia.

Perundingan Indonesia dengan Malaysia terealisasi pada 29 Mei sampai 1 Juni 1966 di Bangkok, Thailand. Pertemuan antara Adam Malik dengan Tun Abdul Razak ini menyetujui beberapa prinsip untuk memulihkan kembali hubungan persahabatan kedua negara. Persetujuan untuk Menormalisasi Hubungan antara Malaysia dan Indonesia tersebut mengakhiri konfrontasi Indonesia – Malaysia yang berlangsung selama tiga tahun.

Tun Abdul Razak, Wakil Perdana Menteri Malaysia, melalui penandatanganan perdamaian ini menyatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara dapat menyelesaikan konfliknya sendiri. Hal ini menjadi sejarah baru terbentuknya kepercayaan di antara negara-negara Asia Tenggara yang sebelumnya banyak menaruh kecurigaan akibat perbedaan pandangan politik.

Bagaimana dengan Maphilindo?

Pecahnya konfrontasi Indonesia – Malaysia dan pemutusan hubungan diplomatik antara Filipina – Malaysia mengakibatkan Maphilindo menjadi lumpuh karena tiap negara anggota memiliki tujuan dan konflik masing-masing. Dengan itu, pupuslah mimpi seorang tokoh nasionalis Filipina, Jose Rizal yang memimpikan persatuan bangsa Melayu yang terbagi akibat kolonialisme barat.

Kesimpulan

  1. Konfederasi tersebut muncul sebagai langkah untuk menyelesaikan konflik Filipina dengan Malaysia dan konflik Malaysia dengan Indonesia, bukan untuk membentuk sebuah negara baru.
  2. Pertemuan tingkat tinggi antara ketiga negara yang diadakan di Manila pada tahun 1963 menghasilkan tiga kesepakatan yakni Manila Accord, Manila Declaration, dan Joint Statement dari ketiga negara.
  3. Pecahnya konfrontasi Indonesia – Malaysia dan pemutusan hubungan diplomatik antara Filipina – Malaysia mengakibatkan Maphilindo menjadi lumpuh. Walaupun tidak pernah dibubarkan secara resmi, Maphilindo kini hanya menjadi catatan sejarah.