Category Archives: TOKOH INDONESIA

100 TOKOH BERPENGARUH DI INDONESIA

1. ABDUL HARIS NASUTION
(Jenderal Besar, Konseptor Perang Gerilya
dan Dwifungsi ABRI)


2. ABDUL QAHHAR MUDZAKKAR
(Mantan Pejuang 45, Pemimpin Gerakan Separatis)


3. ABDURRAHMAN WAHID
(Mantan Presiden RI, Tokoh Agama dan
Kemasyarakatan)


4. ADAM MALIK
(Diplomat, Mantan Menlu RI)


5. ADNAN BUYUNG NASUTION
(Advokat dan Pembela HAM)


6. AFFANDI
(Maestro Seni Lukis Indonesia)


7. AGUS SALIM
(Tokoh Pergerakan Nasional)


8. ACHMAD BAKRIE
(Pengusaha)

9. AHMAD DAHLAN
(Ulama, Pendiri Muhammadiyah)


10. ALI MOERTOPO
(Pemikir Orde Baru, Pelopor Modernisasi Intelijen)

11. ALI SADIKIN
(Mantan Gubernur DKI)


12. AMIEN RAIS
(Mantan Ketua MPR)


13. RJ. HABIBIE
(Man tan Presiden RI, Ahli Iptek)

14. BING SLAMET
(Musisi dan Seniman)


15. BUNG TOMO
(Tokoh Pertempuran 10 November)

16. CEPHAS
(Pelopor Fotografi Indonesia)


17. CHAIRIL ANWAR
(Penyair, Pelopor Sastrawan Angkatan 45)


18. CLIFFORD GEERTZ
(Antropolog)


19. D.N. AIDIT
(Pemimpin Partai Komunis Indonesia)


20. DAUD BEUREUH
(Ulama Besar Aceh)


21. DEWI SARTIKA
(Pelopor Pemberdayaan Perempuan)


22. DJOKOSOETONO
(Ahli Hukum, Pendiri Akademi Kepolisian)


23. GOENAWAN MOHAMAD
(Budayawan)


24. H.B. JASSIN
(Kritikus Sastra dan Pelopor Dokumentasi Sastra
Indonesia)


25. H.O.S. TJOKROAMINOTO
(Tokoh Pergerakan Nasional)


26. HAMKA
(Ulama dan Tokoh Masyarakat)


27. HASYIM ASY’ARI
(Ulama, Pendiri Nahdlatul Ulama)

28. HENDRICUS SNEEVLIET
(Pelopor Komunisme di Indonesia)


29. IBNU SUTOWO
(Man tan Dirut Pertamina, Penggagas Konsep
“Production Sharing” dalam Eksploitasi Migas)


30. IDJON DJANBI
(Pendiri Kopassus)

31. ISMAIL MARZUKI
(Komponis)


32. IWAN FALS
(Musisi)

33. JAKOB OETAMA
(Pendiri Kelompok Kompas Gramedia)


34. KARTOSOEWIRJO
(Pendiri Negara Islam Indonesia)

35. KASMAN SINGODIMEDJO
(Negarawan)


36. KHO PING HOO
(Penulis Cerita Silat)


37. KI BAGUS HADIKUSUMO
(Negarawan)


38. KI HADJAR DEWANTARA
(Bapak Pendidikan Nasional)


39. KUSBINI
(Musisi)


40. L.B. MOERDANI
(Mantan Menhankam/pangab dan Pangkopkamtib,
Pelopor Modernisasi Lembaga Intelijen Negara)


41. LIEM SENG TEE
(Pengusaha, Pendiri PT Sampoerna Tbk.)


42. LIEM SlOE LIONG
(Konglomerat Orde Baru)


43. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
(Mantan Presiden RI)

44. MOCHTAR KUSUMAATMADJA
(Ahli Hukum Laut Internasional dan Konseptor Wawasan
Nusantara)


45. MOHAMMAD HATTA
(Proklamator dan Wapres RI Pertama)


46. MOHAMMAD NATSIR
(Negarawan dan Mantan Perdana Menteri)

47. MOHAMMAD ROEM
(Diplomat dan Pejuang)


48. MOHAMMAD YAMIN
(Negarawan, Pejuang Kemerdekaan)

49. MUNIR
(Aktivis Pro-Demokrasi, Pejuang HAM)


50. MUSO
(Tokoh Komunis Indonesia)


51. NOTONAGORO
(Ilmuwan dan Negarawan)

52. NURCHOLISH MADJID
(Cendekiawan Islam)


53. OEI TIONG HAM
(Pengusaha)


54. OERIP SOEMOHARDJO
(Peletak Dasar Kemiliteran RI)


55. PATER BEEK
(Pastor)


56. PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Sastrawan)

57. R.A. KARTINI
(Pelopor Pemberdayaan Perempuan)


58. RHOMA IRAMA
(Raja Dangdut)

59. RUDY HARTONO
(Maestro Bulutangkis Indonesia)


60. SARTONO KARTODIRDJO
(Pakar Sejarah)

61. SEDYATMO
(Penemu Sistem Fondasi “Cakar Ayam”)


62. SEMAUN
(Aktivis Komunis, Pemimpin Pemberontakan
PKI 1926)


63. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
(Negarawan)

64. SNOUCK HURGRONJE
(Antropolog)


65. SOE HOEK GIE
(Aktivis Mahasiswa Angkatan 66)

66. SOEDIRMAN
(Panglima Besar TNI, Pemimpin Gerilya dalam
Perang Kemerdekaan)


67. SOEDJATMOKO
(Intelektual)


68. SOEDJOJONO
(Pelukis)


69. SOEHARTO
(Jenderal Besar, Mantan Presiden RI)


70. SOEKARNO
(Proklamator dan Presiden Pertama RI)


71. SOEPOMO
(Ilmuwan dan Negarawan)


72. SOEPRIJADI
(Pemimpin PETA yang Memberontak terhadap
Jepang)


73. SOETOMO
(Aktivis Pergerakan Nasional)


74. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
(Sultan Yogyakarta)


75. SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO
(Begawan Ekonomi Indonesia)


76. SUKARNI
(Pejuang Kemerdekaan)

77. SURYA WONOWIJOYO
(Pengusaha, pendiri PT. Gudang Garam, Tbk.)


78. SUTAN SJAHRIR
(Negarawan)


79. SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
(Sastrawan Pelopor Angkatan Poedjangga Baroe)


80. SUWANDI
(Pencetus Ejaan Suwandi)


81. TAN MALAKA
(Pelopor Komunisme di Indonesia)


82. TEGUH SRIMULAT
(Seniman)


83. THAYEB MOHAMMAD GOBEL
(Pengusaha)


84. TIRTOADHISOERJO
(Wartawan dan Pelopor Industri Pers Bumiputera)


85. TJIPTO MANGOENKOESOEMO
(Pelopor Pergerakan Nasional)


86. TJOET NYAK DIEN
(Pemimpin Perang Aceh)


87. TJOKORDA RAKA SUKAWATI
(Penemu Sistem Tiang Pancang Sosrobahu)


88. TONY KOESWOYO
(Pelopor Musik Pop Indonesia)


89. USMAR ISMAIL
(Bapak Perfilman Nasional)


90. VAN DEVENTER
(Penggagas Politik Etis)


91. VAN OPHUYSEN
(Pencipta Ejaan Bahasa Indonesia Pertama)


92. VAN VOLLENHOVEN
(Bapak Hukum Adat)


93. W.R. SOEPRATMAN
(Pencipta Lagu Kebangsaan)

94. W.S. RENDRA
(Dramawan dan Penyair)

95. WAHID HASYIM
(Negarawan dan Tokoh Islam)


96. WAHIDIN SUDIROHUSODO
(Tokoh Pergerakan Nasional)

97. WIDJOJO NITISASTRO
(Ekonom Orde Baru)


98. WILLIAM SOERJADJAJA
(Pengusaha)


99. WIRJONO PRODJODIKORO
(Peletak Dasar Sistem Peradilan Indonesia)


100. YAP THIAM HIEN
(Advokat dan Penegak HAM)

ABDUL QAHHAR MUDZAKKAR – Seorang Patriot Yang Menjadi Pemberontak

Sumber : Wikipedia

Nama Abdul Qahhar Mudzakar lebih dikenal sebagai sosok pemberontak. Namun apabila kita mencermati lebih dalam latar belakang di balik sikap politiknya, kita akan tahu bahwa dia adalah “korban” di balik proses alamiah pembentukan tentara sebagai organisasi yang profesional. Nasibnya seolah mewakili nasib orang-orang daerah yang tidak bisa menentukan nasib sendiri

Qahhar lahir tanggal24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, distrik Ponrang. Ayahnya bemama Malinrang, keturunan bangsawan yang cukup kaya dan terpandang. Setelah tamat sekolah rakyat di Lanipa, Qahhar melanjutkan studi ke Jawa. Ia memilih Solo dan masuk Sekolah Muallimin yang dikelola Muhammadiyah. Masa studinya hanya berjalan tiga tahun (1938-1941), kemudian terputus karena ia terpikat dengan perempuan asal Solo yang lalu dinikahinya.

Ia kembali ke Lanipa. Keluarga besamya gem par karena ia membawa istri orang Jawa. Di kampung halaman, Qahhar aktif dalam organisasi kepanduan yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan.

Jepang masuk ke Indonesia, dan Qahhar tertular eforia yang berharap Jepang bisa membebaskan Indonesia dari Belanda. Begitu bersemangatnya, sampai ia rela naik sepeda ke Rappang hanya untuk bertemu pemimpin pasukan Jepang. Singkatnya, ia berhasil menarik hati para saudara tua. Selama pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan, ia bekerja sebagai pegawai Nippon Dohopo di Makassar.

Namun di tengah keluarga besar, sikap Qahhar yang anti-feodal membuatnya tersingkir. Ia dituduh memicu permusuhan di kalangan kaum bangsawan Luwu, sehingga dikenai hukuman ri-paoppangi tana, atau diusir dari Palopo, tanah kelahirannya. Qahhar pun kembali ke Solo untuk mendirikan perusahaan dagang dengan nama Usaha Semangat Muda. Ia meluaskan usahanya sampai ke Jakarta dengan mendirikan Toko Luwu. Di tokonya ini, Qahhar beberapa kali mengadakan pertemuan politik.

Pasca proklamasi, Qahhar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang lalu berubah menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS), bagian dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API). Qahhar bersama API ikut terlibat dalam rapat besar Ikada, Jakarta, 19 September 1945. Dalam rapat raksasa yang bersejarah itu, Qahhar bersenjatakan sebilah golok membela Soekamo dan Hatta dari kepungan tentara Jepang.

Dalam perkembangannya, APIS meleburkan diri ke dalam usaha perlawanan secara fisik menentang kembalinya penjajah, dengan nama Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS). Daerah operasinya mencakup Karawang, Subang, Tangerang, beberapa daerah di Jawa Tengah serta Jawa Timur.

Qahhar tidak bertahan lama di KRIS. Sejak awal pembentukan KRIS di Jakarta pada tahun 1945, Qahhar sudah menunjukkan ketidaksetujuannya. Tapi, bersama KRIS ia sempat berperan membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, sebagian besar adalah laskar yang berasal dari Bugis-Makassar. Laskar ini kemudian diberi pelatihan militer di Pingit, Yogyakarta, dan menjadi bagian Angkatan Perang RI yang diperbantukan pada Markas Besar Tentara.

Karir militer Qahhar mulai cerah ketika ia ditugaskan menjadi Komandan Persiapan TRI (Ten tara Republik Indonesia) di Sulawesi. Kesatuan ten tara di luar Jawa disatukan dalam Brigade XVI. Masalah mulai muncul ketika ia mulai tersingkir oleh perwiraperwira yang tnemang mempunyai pendidikan formal dan kemampuan teknis militer yang memadai, walaupun mereka kurang memiliki kharisma di kalangan prajurit. Bagaimanapun Qahhar adalah tentara yang lahir karena proses “kebetulan”, walaupun pengaruhnya sangat kuat di antara anak buahnya. Qahhar hanya diposisikan menjadi orang kedua dalam brigade ini. Dari pengangkatan Letkol J.F Warouw sampai Letkol Lembong sebagai pemimpin brigade, Qahhar menolak mengakui mereka. Bahkan ia memberi instruksi untuk tidak berhubungan mereka “jika tidak seizin atau persetujuannya”.

Selain masalah popularitas di kalangan para prajurit, konon pertentangan itu juga dilatarbelakangi oleh persaingan etnis. Qahhar merasa orang-orang Manado-Minahasa yang menjadi anak emas dalam kemiliteran yang formal. Kebetulan kedua letkol itu memang berasal dari Minahasa. Qahhar pun melepaskan jabatannya sebagai wakil komandan Brigade XVI. Ia diberi tugas membentuk Komando Seberang yang meliputi Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan Sulawesi. Pimpinan Komandan Grup Seberang lalu diserahkan padanya. Kesatuan inilah yang kemudian menjadi basis kekuatannya dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Ketika kedudukan Komandan Grup Seberang dihapuskan, Qahhar menjadi perwira tanpa jabatan. Ia sempat ditugaskan ke Sulawesi Selatan, 1950. Sejak saat itu ia tidak pemah lagi kembali dalam lingkungan angkatan perang Republik Indonesia. Ia memutuskan untuk menempuh jalannya sendiri, ketika . merasa semua pengabdiannya tidak mendapat ba­lasan sepadan.

Kemarahan makin memuncak saat pemerintah Soekamo menolak masyarakat Bugis-Makasar untuk bergabung dengan angkatan perang RI dalam suatu kesatuan yang mandiri bemama Hasanuddin, pahlawan kebanggaan mereka. Pada tahun 1952, Qahhar membentuk brigadenya sendiri. 7 Agustus 1953, secara resmi Qahhar menggabungkan kekuatannya dengan Kartosoewirjo yang memiliki basis pengikut di Jawa Barat. Qahhar dan para pengikut fanatiknya pun menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pada paruh pertama dekade 1950-an, gerakan separatisme yang dipimpin Qahhar di Sulawesi Selatan sempat menyulitkan aparat keamanan RI. Tapi seiring berjalannya waktu, kekuatan Qahhar makin melemah. Namun ia tetap bertahan di hutan belantara dan tak mau menyerah.

Menurut Anhar Gonggong, pemberontakan Qahhar, dalam setiap babak memiliki tipikal yang berbeda. Periode 1950-1952, merupakan wujud dari akumulasi kekecewaan yang dialami Qahhar. Mulai 1953 hingga kematiannya, pemberontakan Qahhar sudah dilandasi oleh semangat keagamaan Islam. Bersama Kartosoewirjo dan Daud Beureuh, ia menjadi ikon gerakan separatis yang bemuansa agama Islam. Qahhar juga menjadi simbol resistensi daerah terhadap dominasi pusat, yang pemah menjadi ancaman serius bagi perpecahan bangsa pada dekade 50-an.

Pemberontakan Qahhar yang melibatkan 15.000 pengikut itu berakhir dengan kematian Qahhar pada tanggal 2 Februari 1965. Qahhar, presiden/khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII), tewas ditembak Kopral Sadeli dari Divisi Siliwangi di pinggir Sungai Lasalo.

ABDUL HARIS NASUTION – Konseptor Perang Gerilya

Aankomst van generaal Abdul Harris Nasution van Indonesië op Schiphol .*3 mei 1971

“Tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.”

Jenderal Besar A.H. Nasution adalah sosok yang tak mungkin dilupakan oleh bangsa ini. Tokoh ini bisa tampil tegar, misalnya dalam mengambil sikap ketika kekuatan komunis Il1.erajalela, tetapi Pak Nas juga bisa menitikkan air mata ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi di awal Oktober 1965.

Pak Nas dikenal sebagai penggagas Dwifungsi ABRI Konsep yang digagasnya telah menyimpang ke arah yang destruktif. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep itu dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Tentara tidak lagi menjadi pembela rakyat, tetapi bermain dalam lapangan politik.

Selain konsepsi dwifungsi ABRI, ia dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, ·West Point, Amerika Serikat.

Abdul Haris Nasution lahir 3 Desember 1918, di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Anak petani ini bergelut di dunia militer setelah sebelumnya sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Selanjutnya, ia menjadi pembantu letnan di Surabaya. Tahun 1942 ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Pasukannya bubar. Bersepeda, ia lari ke Bandung. Di kota ini ia bekerja sebagai pegawai pamong praja. Tidak betah dengan pekerjaan sebagai priyayi, tahun 1943 ia masuk militer lagi dan menjadi Wakil Komandan Barisan Pelopor di Bandung.

Setelah Jepang kalah perang, Nasution bersama para pemuda eks-Peta mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Karirnya langsung melesat dan Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi Ill/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jenderal Soedirman). Tapi, sebulan kemudian jabatan “Wapangsar” dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung 1949, ia diangkat menjadi KSAD.

Dalam Revolusi Kemerdekaan 1(1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, A.H. Nasution betul-betul mempelajari arti dukungan rakyat dalam suatu perang gerilya. Dari sini lahir gagasannya ten tang metode perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa pada masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949). Ia menyusun Perintah Siasat No. I, yang berisi Ujuklak” tentang persiapan perang gerilya. Instruksi tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin upertahanan rakyat total”. Doktrin itu sampai hari ini masih dianut militer Indonesia.

Pak Nas merupakan sosok yang bisa mengambil jarak terhadap kekuasaan. Meski mengaku mengagumi Soekarno, ia tidak menyangkal kalau sering terlibat kont1ik dengan presiden pertama RI ini. Perang dingin di antara keduanya muncul ketika ia tidak bisa menerima intervensi politisi sipil dalam persoalan internal militer. Ia lalu mengajukan petisi agar Bung Karno membubarkan Parlemen (Peristiwa 17 Oktober 1952). Karena dianggap menekan Presiden akhirnya Pak Nas dicopot dari jabatannya. Tapi, konflik internal AD tak kunjung reda, sehingga tahun 1955 Bung Karno memberikan lagi jabatan yang sama. Hubungan keduanya pun mulai membaik. Bahkan KSAD jadi co-fonnateur dalam pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja.

Selanjutnya, giliran Pak Nas yang menyeberang ke pentas politik. Tahun 1957, terjadi pemberontakan PRRIjPermesta, Bung Karno menyatakan SOB (negara dalam keadaan perang). Ia ditunjuk sebagai Penguasa Perang Pusat dan pemberontakan bisa dipatahkan dengan cepat. Tapi, di konstituante, para anggota parlemen terus berdebat tentang UUD baru. Pertengahan 1959, perdebatan menjurus pada perpecahan. Sebagai Penguasa Perang, Pak Nas mengajukan gagasan pada Bung Kamo untuk “kembali ke UUD 1945”. Tangga15 Juli 1959, keluarlah Dekrit Presiden yang bersejarah itu.

Tapi bulan madunya dengan Soekamo tidak berlangsung lama. Sejak awa11960-an, hubungan kedua tokoh itu mulai renggang. Ia tak bisa menerima sikap Bung Kamo yang dekat dengan PKI. Pertentangan antara keduanya akhimya menjadi rivalitas terbuka pasca peristiwa G 30 S. Pak Nas bekerjasama dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto, menumpas habis PKI. Bung Karno tidak mau “menyalahkan” PKI. Akhirnya Pemimpin Besar Revolusi itu pun terguling.

Nasution nyaris menjadi korban G-30 S. Namanya termasuk dalam daftar penculikan. Beruntung, ia dapat lolos dari kepungan, walaupun kehilangan puterinya, Ade Irma Suryani. Pak Nas memang sosok yang berani terang-terangan menentang komunis. Pada tahun 1948 ia memimpin pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ia juga aktif menghalangi manuver-manuver PKI, antara lain menentang usul mempersenjatai buruh dan tani.

Awal pemerintahan Orde Baru, Pak Nas sempat berperan. Semula, beberapa tokoh AD, seperti Kemal ldris, H.R.Dharsono, dan Sarwo Edi, mendesaknya untuk menjadi presiden. Tetapi, Pak Nas hanya menjadi Ketua MPRS. Tahun 1968, lewat keputusannya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi presiden.

Kemesraan Nasution-Soeharto juga tidak lama. Setelah Soeharto berkuasa, Nasution malah disingkirkan. Keterlibatannya dalam Petisi 50 dianggap sebagai biang keladinya. Puncaknya, 1972, setelah 13 tahun memimpin angkatan bersenjata, Nasution dipensiunkan dini dari dinas militer. Sejak saat itu Nasution tersingkir dari panggung politik.

Dalam masa tuanya, Pak Nas sempat dibelit persoalan hidup. Rumahnya di JI. Teuku Vmar Jakarta, tampak kusam dan tidak pernah direnovasi. Secara misterius pasokan air bersih ke rumahnya terputus, tak lama setelah Pak Nas pensiun. Namun, setelah 21 tahun dikucilkan, tiba-tiba Nasution dirangkul lagi oleh Soeharto. Tanggal 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, prajurit tua yang dikenal taat beribadah itu dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima. Selain Nasution, ada dua jenderal yang menyandang bintang lima sepanjang sejarah RI: yaitu Soedirman dan Soeharto.

Abdul Haris Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto, pukul 07.30 WIB, pada tanggal 6 September 2000.