5 Museum Tempat Bersemayam Pemimpin Dunia

Lenin, Jasadnya pun Tetap Mempesona

1

Mausoleum Lenin atau makam Lenin berada di Red Square, pusat Kota Moscow, Rusia. Selain menjadi tempat peristirahatan terakhir Lenin, tempat ini juga menjadi tujuan wisata populer.

Tubuh Lenin yang wafat pada 21 Januari 1924 langsung diawetkan untuk kemudian dipamerkan kepada publik. Lebih dari 100.000 orang telah mengunjungi makamnya satu pekan setelah makam ini didirikan.

Melihat animo masyarakat yang begitu tinggi untuk petinggi Rusia ini, maka area makam diperluas. Bahkan, sudah lebih dari 10.000 orang mengunjungi makam Lenin antara tahun 1924 dan 1972.

Saat Rusia terlibat perang, makam ini sempat ditutup untuk umum. Tak hanya itu saja, tubuh Lenin yang sudah dibalsem pun kemudian dipindahkan ke tempat yang dirasa aman sebelum akhirnya dikembalikan ke tempat ini.

Mausoleum Lenin dapat dikunjungi wisatawan setiap Senin hingga Jumat. Makam dibuka mulai pukul 10.00-13.00 waktu setempat.

Wisatawan memang tidak perlu membayar tiket masuk, tapi semua barang elektronik yang dibawa harus dititipkan ke dalam loker. Anda pun harus menjaga sopan santun di tempat ini, seperti tidak boleh berbicara keras, memasukkan tangan ke saku celana, hingga memakai topi di dalam ruangan. Mengambil gambar serta video pun dilarang keras di tempat ini.

Hanya Boleh “Bertemu” Kim Jong-Il di Kamis & Minggu

2

Kim Jong-Il, penguasa Korea Utara yang meninggal lebih dari setahun lalu, kini dapat kembali dilihat. Jasad Kim Jong-Il yang telah diawetkan dapat dilihat wisatawan yang berkunjung ke Korea Utara.

Tubuh Kim Jong-Il yang sudah diawetkan ini ditaruh di Istana Kumsusan, Istana Kepresidenan Korea Utara sejak Desember tahun lalu. Jasadnya terbaring di balik selimut merah ditemani beberapa benda favoritnya, seperti sepatu, kacamata hitam, dan laptop MacBook Pro.

Di istana ini, tidak hanya ada jasad Kim Jong-Il. Jasad ayahnya, Kim Il-Sung, berada satu lantai di bawahnya.

Wisatawan asing yang ingin mengunjungi makam ini wajib didampingi oleh pemandu tur resmi dari Pemerintah Korea. Kunjungan hanya dapat dilakukan pada Kamis dan Minggu.

Sebelum masuk, wisatawan diharuskan untuk meninggalkan semua barang yang dibawa e dalam sebuah loker. Wisatawan hanya diperkenankan membawa dompet ke dalam bangunan ini.

Merekam video, mengambil gambar, merokok, dan berbicara tak diperbolehkan selama pengunjung mengikuti tur. Sebuah pengeras suara mini akan diberikan kepada setiap pengunjung untuk mendengarkan cerita kesedihan dari warga Korea ketika kehilangan sosok pemimpinnya.

Jaga Sopan Santun “Menghadap” Ho Chi Minh

3

Hanoi adalah satu-satunya kota di Asia Tenggara yang bekas pemimpinnya diawetkan dan dipamerkan kepada khalayak ramai. Tubuh Ho Chi Minh diawetkan walaupun sebenarnya ia berpesan agar tubuhnya dikremasi.

Para wisatawan datang untuk melihat Ho Chi Minh, bukan sebagai diktator melainkan sebagai pejuang kemerdekaan Vietnam. Taman makam ini terletak di Ba Dinh, tempat yang sama ketika Ho Chi Minh membacakan deklarasi kemerdekaan pada 2 September 1945.

Pembangunan makam dilakukan pada 1973 hingga 1975. Bentuk makam terinspirasi oleh makam Lenin di Moskow, Rusia, namun nuansa arsitektur Vietnam tetap digunakan.

Makam ini dibuka setiap harinya mulai pukul 09.00 sampai tengah hari. Tubuh Ho Chi Minh yang telah dibalsem diletakkan di bagian aula.

Untuk dapat berkunjung ke tempat ini, wisatawan harus menaati peraturan yang telah ditentukan. Wisatawan harus mengenakan pakaian sopan, tidak ribut, berjalan dua baris, dan tidak mengambil foto ataupun video.

“Mengunjungi” Mao Zedong, Dilarang Pakai Rok!

4

Mausoleum Mao Zedong adalah tempat peristirahatan terakhir bagi pemimpin partai komunis China, Mao Zedong. Tubuhnya yang telah diawetkan mulai dipamerkan kepada khalayak ramai di sebuah makam yang sengaja dibangun tak lama setelah kematiannya.

Letak makamnya berada tepat di tengah-tengah Lapangan Tiananmen di Beijing. Setiap harinya orang berbaris hingga ratusan meter untuk dapat melihat tubuh kaku sang pemimpin ini.

Sebelumnya, wisatawan akan membeli bunga yang dijajakan di pintu masuk di sisi utara. Makam buka setiap harinya mulai pukul 08.00-12.00 waktu setempat. Seperti makam-makam lainnya, di tempat inipun pengunjung tidak boleh berbicara, merokok, mengambil gambar dan video, serta tidak boleh menggunakan topi, celana pendek, dan rok mini.

Tak hanya wisatawan serta penduduk sekitar yang rajin mengunjungi makam ini. Semua keturunan Mao Zedong yang masih hidup pun selalu mengunjung makam leluhurnya. Mereka biasanya datang dua kali setahun, yaitu saat hari kelahiran dan kematian Mao Zedong.

Jasad Marcos, Dulu Ditolak Kini Banyak Dikunjungi

5

Museum Marcos dan Mausoleum Marcos adalah tempat yang dapat dituju ketika wisatawan ingin mengenang sejarah kepemimpinan Filipina. Tempat ini berada di jantung Kota Batac, Ilocos Norte, Filipina.

Di tempat ini wisatawan dapat melihat tubuh kaku Marcos yang telah diawetkan sejak 1993 silam. Marcos meninggal pada 28 September 1989 karena komplikasi penyakit paru-paru, ginjal, dan hati di Hawaii.

Karena tidak diakui ketika kembali ke negaranya, maka jasad Marcos dimakamkan di tempat pemakaman pribadi di Pulau Oahu, Jepang. Barulah pada 1993, jasadnya diperbolehkan untuk dibawa kembali ke Filipina.

Setelah 24 tahun meninggal, jasad Marcos masih tersimpan apik di tempat ini. Setiap hari semakin banyak yang mengunjungi Mausoelum Marcos untuk memberikan penghormatan dan mengetahui jejak sejarah.

Sayangnya, beberapa orang tak percaya jika tubuh yang terbaring adalah milik Marcos. Mereka menganggap jika tubuh tersebut adalah patung lilin Marcos.

Mengenal sosok Bung Hatta

Image

Mohammad Hatta, pria kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, yang menjadi salah satu tokoh utama kelahiran Republik Indonesia. Ketika penulis diminta menyusun artikel mengenal tokoh (ngetok) ini, detik itu juga terngiang lagu Bung Hatta, oleh Iwan Fals, yang penulis sering dengar waktu kecil dulu. Sebuah lagu sederhana yang bisa merangkum kepribadian proklamator Indonesia ini.

Kita cukup mengenal Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pertama RI atau sebagai Bapak Koperasi Indonesia, namun kedalaman pemikiran Bung Hatta jauh lebih luas lagi. Seseorang penyair pernah mengatakan: “tulislah sesuatu yang kalian ketahui tentang Bung Hatta, dia orang besar dan hidupnya seperti buku yang tak akan pernah tamat dibaca”. Karena itu, dalam ngetok kali ini penulis hanya ingin mengajak untuk sedikit mengintip pribadi Bung Hatta dari tiga sisi: pendekatan nasionalisnya, kiprahnya sebagai pelajar di luar negeri, dan pikirannya mengenai perekonomian.

Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia…

Terlahir pada perpaduan keluarga yang kental beragama dan berniaga, dalam balutan budaya Minang, Bung Hatta dikenang sebagai seorang yang sederhana, teratur dan sangat disiplin waktu. Beliau juga memiliki rasa kecintaan yang tinggi terhadap buku dan ilmu pengetahuan.

Walaupun pembawaannya agak kaku, pribadi Bung Hatta membuatnya luwes dalam berorganisasi sejak muda. Bung Hatta sudah menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond pada tahun 1916, serta aktif mengikuti ceramah Haji Agus Salim, Abdoel Moeis, dan tokoh lainnya yang sempat mampir di Padang. Keuletannya dalam berorganisasi diteruskannya saat menjadi pelajar di Belanda. Ia menjadi bendahara Perhimpoenan Indonesia pada tahun 1922 dan menjadi ketuanya pada tahun 1926.

Sepanjang hidup dan pengabdiannya, tak terhitung berapa tulisan yang sudah ia curahkan, baik di media massa, buku, naskah pidato, maupun surat-surat. Sejak tulisannya mengenai Hindania yang diperistri pria barat yang “hanya cinta hartanya” (sebagai personifikasi Indonesia dalam genggaman kolonial Belanda) dimuat dalam majalah Jong Sumatra, Bung Hatta seakan tidak dapat berhenti menulis. Ia ketika itu baru berumur 18 tahun. Saat menjadi pelajar di Belanda, ia juga sangat aktif menghidupkan majalah Hindia Peotera, terbitan Perhimpoenan Indonesia.

Sepulang dari Belanda, ia bersama Sutan Sjahrir membentuk Pendidikan Nasional Indonesia, yang pada akhirnya memaksa kolonial Belanda menangkap dan mengasingkan dirinya. Menuju pengasingannya ke Boven-Digoel awal tahun 1930an, Bung Hatta membawa serta 16 peti bukunya, yang ia gunakan sebagai amunisi untuk tetap menulis untuk beberapa koran Batavia, Den Haag, maupun Sumatra. “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”, ujarnya.

Pada tahun 1941, ketika perang pasifik pecah, Bung Hatta menulis di media massa agar rakyat Indonesia tidak memihak dalam peperangan. Kuatnya cita-cita Bung Hatta untuk memerdekakan bangsa Indonesia ia tumpahkan pada Jepang di lapangan Ikada, pada Desember 1942. Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.

Selama masa pergerakan nasional, melalui tulisannya kita juga dapat memahami bahwa Bung Hatta sangat memandang penting pendidikan dan kaderisasi dalam mengorganisasikan kedaulatan rakyat, tidak sekedar penggalangan massa. Pada tahun 1943, bersama Soekarno, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansur, ia mengorganisasikan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera), yang berupaya mengubah sistem pendidikan warisan kolonial Belanda menjadi sistem yang lebih cocok untuk Indonesia.

Besar kontribusi Bung Hatta dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam penyusunan konstitusi pada tahun 1945. Ia meyakinkan sahabat-sahabatnya agar tujuh kata tentang syariat Islam dalam draf Pembukaan UUD 1945 diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang akhirnya diterima PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Baginya, sila pertama tersebut menjadi dasar utama dalam Pancasila, menjiwai dan memberi semangat kepada sila-sila lainnya.

Bung Hatta juga memastikan dimasukkannya pasal-pasal mengenai hak asasi atas penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, serta pengelolaan sumber daya alam bagi kedaulatan rakyat. Pesan Bung Hatta saat sidang BPUPKI, tanggal 15 Juli 1945, menekankan pentingnya good governance dan posisi negara sebagai “pengurus”, dengan membangun masyarakat baru yang berlandaskan gotong royong dan usaha bersama, berdasarkan kedaulatan rakyat.

Seperti dicatat Deliar Noer, kebangsaan yang dimaknai Bung Hatta menolak sifat ekspansif dan imperialis. Ia sangat khawatir Indonesia akan jatuh menjadi “negara kekuasaan” di kemudia hari. Ia dengan jelas menolak usulan pembentukan Indonesia yang juga mencakup Semenanjung Malaya, Singapura, Kalimantan Utara (Sarawak, Brunei, Sabah), dan Timor Timur. Meskipun tidak ia utarakan saat sidang, dalam pandangannya, ia lebih condong pada bentuk negara serikat atau federasi. Sebagaimana yang dirunut oleh Sri Edi Swasono, merujuk tulisan Bung Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, tahun 1926, federalisme yang dimaksud berarti otonomi yang luas bagi daerah, yang sesuai dengan keistimewaan dan kekhususan daerah.

Beliau juga menjadi pencetus politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Bagai berlayar di antara dua karang, Indonesia menetapkan strateginya memperjuangkan kemerdekaan dan menghadapi perang dingin. Akan sia-sia belaka perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan, jika pada akhirnya nasib Indonesia diserahkan pada kekuatan lain. Berlayar terlalu dekat dengan salah satu karang, maka kapal akan celaka. Buah pikirannya diijelaskan secara lugas oleh Dewi Fortuna Anwar; “bebas” berarti tidak terlibat dalam pakta pertahanan dengan kekuatan luar, ini mencerminkan nasionalisme tinggi yang menolak ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan bangsa, dan “aktif” berarti Indonesia tidak pasif dan sekedar netral, namun ikut aktif mencari solusi terhadap persoalan internasional, dengan tetap menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan perdamaian dunia.

Agaknya kekhawatiran Bung Hatta akan sebuah negara kekuasaan terbukti. Ia tidak sependapat dengan Soekarno mengenai jalannya Demokrasi Terpimpin, yang menurutnya sudah berbau kediktatoran. Saat pidato penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada, tanggal 27 November 1956, Bung Hatta menekankan agar negara tidak tergelincir pada penekanan hak individu di satu pihak, atau penumpukan kekuasaan pada seseorang di pihak lain. Tiga hari kemudian, ia mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden.

Tidak berhenti di situ, Bung Hatta memukul kembali dengan tulisannya, Demokrasi Kita, di awal tahun 1960an. Meski demikian, Bung Hatta tetap optimis: “demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan”.

Begitu komitmennya Bung Hatta terhadap cita-cita perjuangan ini, ia bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta baru menikah pada 18 November 1945, tiga bulan setelah proklamasi kemerdakaan Indonesia. Ketika itu, ia hanya memberika sebuah buku “Alam Pikiran Yunani”, yang ia tulis sendiri selama pengasingan di Digoel, sebagai mas kawin untuk meminang Rachmi Rahim.

Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru

Tiba di Belanda pada bulan September 1921, Bung Hatta memanfaatkan waktu 11 tahun di luar negeri untuk menimba ilmu, membangun jaringan dan berkarya. Penulis setuju denga ungkapan Parakitri Simbolon, bahwa Bung Hatta tidak hanya menjadi pelajar, tetapi juga menjadi “pengajar” bagi para penjajah. Ia mengajarkan emansipasi, otonomi, dan hak untuk merdeka. Bung Hatta memahami bahwa orang Indonesia dapat menjadi setara dengan orang kulit putih sekalipun.

Berawal dari perkumpulan kecil di sebuah rumah di Bilderdikjstraat, dekat Universitas Leiden, bersma Nazir Pamuntjak, Dahlan Abdullah, Ahmad Soebardjo, Herman Kartasasmita, Darmawan Mangunkusumo, dan lainnya, ide besar tentang pergerakan nasional dilahirkan. Bung Hatta kemudian aktif dalam Indische Vereeninging, yang olehnya ditranformasi dari perkumpulan sosial menjadi gerakan politik.

Niatan Bung Hatta memang sudah jelas, ia mendorong pelajar Indonesia di luar negeri untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dari kolonial Belanda. Dua tulisan Hatta yang dimuat dalam buku Gedenkboek Indonesische, yang diterbitkan Indische Vereeninging, menegaskan sikapnya. Pertama, Indonesia dalam masyarakat dunia, yang menguraikan keterkaitan geopolitik Indonesia dan perekonomian dunia; untuk meningkatkan hubungannya dengan dunia, Indonesia butuh kebebasan ekonomi dan kedaulatan politik. Kedua, Indonesia di tengah-tengah revolusi Asia, yang menguraikan usaha bangsa Asia untuk membebaskan diri dari pendudukan Eropa; perkembangan ini mempengaruhi Indoensia, karenanya Indonesia perlu membangun kekuatan sendiri untuk mendorong pergerakan menuju kemerdekaan.

Dalam pandangan Bung Hatta, pelajar Indonesia di luar negeri, terutama di Belanda harus menyebarluaskan gagasan kemerdekaan kepada sesama kaum terpelajar. Karenanya ia mendorong perubahan nama Indische Vereeninging menjadi Perhimpoenan Indonesia, serta majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Jelas juga ia curahkan teguran terhadap orang-orang yang menamakan diri nasionalis Indonesia, namun pergaulan dan semangatnya amat terikat kepada daerah tempat dia dilahirkan.

Bung Hatta, yang fasih berbahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman, terus memperkenalkan nama Indonesia, ke penjuru Eropa. Di pertemuan-pertemuan tersebut, Bung Hatta juga menjalin persahabatan dengan pemuda dari negeri Asia dan Afrika, yang juga memperjuangkan kemerdekaan negara masing-masing dan menentang imperialisme. Tercatat juga oleh Deliar Noer, semasa belajar di luar negeri bersama dengan Samsi Sastrawidagda, Bung Hatta mengunjungi Denmark dan Skandinavia untuk mempelajari perkembangan koperasi.

Pada tahun 1926, Bung Hatta menjadi penghubung perwakilan Asia yang hanya bisa berbahasa Inggris atau Perancis yang menghadiri kongres demokrasi internasional untuk perdamaian di Bierville, Perancis. Bung Hatta ikut serta dalam liga menentang imperialisme dan kolonialisme, yang pada tahun 1927 diadakan di Brussels, Belgia, dimana ia bertemu Jawaharlal Nehru. Ia juga berkesempatan untuk berpidato di hadapan liga internasional perempuan untuk perdamaian dan kebebasan di Gland, Swiss, tahun 1927. Di setiap pertemuannya, Bung Hatta menyuarakan cita-cita kebangsaan Indonesia dan penentangan terhadap perlakuan kolonial Belanda.

Aktivitas Bung Hatta dan rekan-rekannya akhirnya dianggap “mengganggu” pemerintah Belanda. Bulan September 1927, ia bersama Nazir Pamuntjak, Ali Sostroamijoyo, dan Abdoel Madjid Djojodiningrat ditangkap. Tanggal 9 Maret 1928, dalam pidato pembelaannya (Indonesia Vrij – Indonesia Merdeka) di hadapan mahkamah Den Haag, dengan lantang ia katakan: “hanya satu tanah air yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku”.

Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…

Walaupun lahir dari keluarga yang cukup berada, Bung Hatta tidak kehilangan jiwa sederhana. Dari para pedagang yang menjadi anggota serikat usaha di Padang, Bung Hatta belajar keteraturan dan menjaga waktu. Bahkan, prinsip dan ketegasannya tercermin dari keputusannya untuk tidak terjun ke dunia bisnis dan menolak tawaran menjadi komisaris beberapa perusahaan besar selepas menjadi wakil presiden. “Apa kata rakyat nanti”, ujarnya. Bung Hatta juga pernah menolak kenaikan gaji sebagai wakil presiden dan mengembalikan sisa uang taktis kepada kas negara selepas berhenti menjadi wakil presiden.

Bung Hatta memang menolak paham pasar bebas ala Adam Smith. Pendekatan ekonomi Bung Hatta adalah sebagaimana tertuang pada pasal 33 UUD 1945. Mengutip Meutia Farida Hatta Swasono, bahwa Bung Hatta menyebutnya sebagai “jalan lurus”, dimana pembangunan adalah proses memanusiakan manusia dan yang berlaku adalah daulat rakyat, bukan daulat pasar.

Ia adalah seorang sosialis, namun tetap rasional dan tidak ekstrim. Mungkin itu juga yang membuatnya menolak pinangan Semaun, pada tahun 1926, untuk memimpin pergerakan nasional dari sayap komunis. Dari catatan Deliar Noor, kita bisa memahami pemikiran sosialisme Bung Hatta; ajaran Islam yang mendorong memberantas kemiskinan dan sosialisme barat yang berusaha membangkitkan kalangan miskin agar sejahtera. Intinya, bagaimana memurahkan ongkos hidup rakyat.

Pengalamam dan perhatian Bung Hatta terhadap kondisi rakyat Indonesia menjadikannya membenci struktur ekonomi dan pamong praja di bawah penjajahan kolonial Belanda. Kondisi ini membuat rakyat terpatri minder dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa mandiri secara ekonomi. Ketidaksukaannya itu ia sampaikan pada pidato inagurasi sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia, pada tahun 1926, dan juga di hadapan mahasiswa indologi di Utrecht, pada tahun 1930. Bung Hatta mendebat bahwa motivasi kolonial lebih banyak pada kebutuhan materiil yang didorong sifat tamak, dengan mengorbankan bangsa-bangsa yang lebih lemah.

Bung Hatta percaya, melalui koperasi rasa kebersamaan, persamaan, dan tolong menolong dapat ditumbuhkan. Jiwa koperasi ala Bung Hatta adalah “menolong diri sendiri secara bersama-sama”. Dasar kesukarelaan untuk mencapai kepentingan bersama, serta menumbuhkan kesetiakawanan untuk mengangkat derajat bersama sangat penting. Dicintohkan olehnya, koperasi di Tiongkok yang berawal sukarela sudah bukan koperasi lagi saat dijadikan komune. Dengan komune ada paksaan, yang menegasikan sikap kesukarelaan. Koperasi ala Hatta juga bukan sekedar badan ekonomi untuk menghasilkan laba semata, namun juga berfungsi sosial; mendirikan sekolah, menyantuni yang membutuhkan, ataupun mendirikan klinik.

Bung Hatta secara jelas tidak menyetujui kapitalisme, yang menurutnya menyebabkan perekonomian hanya dikuasai minoritas pemilik modal. Karenanya di tingkat nasional, ia menerjemahkannya dengan penguasaan oleh negara cabang produksi dan aset yang menguasai hajat hidup orang banyak, pembatasan terhadap usaha swasta, serta mengembangkan koperasi sebagai soko guru perekonimian Indoensia. Ia juga mewanti-wanti agar segala bantuan luar negeri yang diterima pemerintah tidak mengandung ikatan politik.

Namun memang, pembuktian pandangan ekonomi Indonesia ala Bung Hatta masih menjadi misteri. di masanya koperasi sempat tumbuh subur, namun kontribusinya terhadap ekonomi nasional justru mandek. Dua keberhasilan yang sering dicatat adalah beroperasinya pabrik semen Gresik dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Tepatnya tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta berpidato di radio tentang hari jadi koperasi. Dua tahun berikutnya, kongres koperasi Indonesia mengangkat dirinya sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Selama masa orde baru, Bung Hatta kerap menulis surat kepada pejabat berwenang karena khawatir Indonesia condong ke arah liberalisme pasar. Ia menilai negatif rancanga pembangunan lima tahun yang hanya menyiratkan pemberdayaan rakyat di atas kertas, menumbuhkan konglomerasi dan mengesampingkan koperasi. Bung Hatta juga menyesalkan sikap pemerintah yang kelihatannya membiarkan produksi nasional kalah oleh konkuren asing.

Bung Hatta memandang bahwa pejabat-pejabat itu harusnya bisa melihat kondisi rakyat di lapangan, tidak sekedar bergantung pada angka-angka parameter pembangunan saja. Sangat pedas kritiknya di tahun 1970; ia mengatakan sudah ada milarder orang Indonesia, beratus perusahaan besar yang berhubungan dengab luar negeri, tapi rakyat jelata yang terbanyak – petani, buruh dan pegawai negeri, serta yang telah pensiun – menderita kemunduran dibandingkan keadaan mereka di masa Hindia Belanda.

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu

Nampaknya, penulis harus berhenti sampai di sini. Berkisah tentang Bung Hatta sama halnya seperti mengisahkan sejarah Republik Indonesia itu sendiri. Banyak yang bisa kami petik dari perjuanganmu: kentalnya nasionalisme, kebanggaan menjadi duta bangsa, dan semangat pemberdayaan rakyat.

Bung Hatta wafat di usia 77 tahun, pada tanggal 14 Maret 1980. Sesuai dengan permintaannya, ia dimakamkan di pemakaman umum bersama rakyat yang dicintainya.

Maafkan kami Bung, yang masih membiarkan Indonesia sebagaimana kekhawatiran yang kau tuang dalam Demokrasi Kita, 50 tahun lalu:
“Dimana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot. Perkembangan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa”.

Semoga kami dapat membangun Indonesia yang lebih baik, selepas merantau di negeri selatan ini.

Bernisan bangga, berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang sepertimu…

Bung Karno Sebagai Pribadi dan Tokoh Sejarah

Image

“Dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Belanda, Hatta itu teguh, konsisten, dan konsekuen. Sebaliknya Bung Karno! Ahli pidato yang bergembar-gembor ini lekas bertekuk lutut, jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan dirinya sendiri.” (Rosihan Anwar)

Mengenal Sukarno sebagai Proklamator Republik Indonesia adalah kewajiban semua lapisan masyarakat Indonesia. Tanpa mengenal sosok Bung Karno, seseorang bisa dibilang antipati terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia. Itulah kenapa dulu Bung Karno pernah berucap, Jasmerah! “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

Mengenal Bung Karno sebagai pahlawan dan sebagai manusia biasa akan menimbulkan perbedaan pandangan. Bung Karno sebagai pahlawan adalah seorang agitator handal yang bisa mengerahkan ribuan massa dalam rapat raksasa. Seorang yang mampu menelurkan gagasan, pandangan politik, dan ideologi yang ia tuliskan di berbagai media. (baca : Dibawah Bendera Revolusi jilid 1 & 2)

Lain halnya pribadi Bung Karno sebagai manusia biasa, ia adalah lelaki yang sangat mendambakan wanita yang sempurna. Tokoh imajiner Sarinah yang terinspirasi dari pengasuhnya ketika kecil, ia jadikan judul buku hasil buah tangannya. Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, begitu judul buku yang ia tulis dan terbit pertama kali pada 3 November 1947.

Bung Karno sebagai manusia biasa adalah seorang yang sangat mengagumi kecantikan dan keindahan. Sorot matanya akan fokus memandang kecantikan wanita dan keindahan alam. Di sisi lain, ia tidak tega melihat seekor cacing menggeliat kepanasan dan hampir mati. Itulah (mungkin) sebab Bung Karno memiliki banyak istri.

Di dalam buku Bung Karno Antara Mitos dan Demitologi, Bung Karno Pernah Minta Ampun Pada Belanda?, sedikitnya dijelaskan pribadi Bung Karno. Buku setebal 124 halaman yang disunting oleh Mayon Soetrisno itu memuat 16 tulisan. Ke-16 tulisan tersebut adalah kumpulan artikel yang pernah dimuat di surat kabar Kompas, Tempo, Merdeka, dan Zaman yang diterbitkan pada waktu yang tidak bersamaan.

Beberapa penulisnya antara lain; Rosihan Anwar, Ayib Bakar, Mahbub Djunaidi, Anwar Luthan, Mohammad Roem, Abdurrachman Surjomigarjo, dan Sitor Situmorang. Para penulis ini seakan mendiskusikan secara langsung tentang sosok Bung Karno lewat kacamata mereka. Ada yang memandang Bung Karno secara miring, adapula yang lurus.

Membaca sosok Bung Karno laksana menyelami lautan dalam. Hal yang tidak terlalu berlebihan sepertinya untuk diungkapkan bagaimana menggambarkan sosok si ‘Bung Besar’. Ia dipuja bak dewa yang kehadirannya sangat dinanti-nanti ribuan pasang mata. Ia dikutuk bagaikan bandit yang hidupnya tak diharapkan oleh sebagian golongan. Kehadirannya dianggap benteng penghambat berdirinya sebuah Negara Islam Indonesia. Sampai suatu waktu Bung Karno beberapa kali hampir tewas dibom oleh golongan pemberontak.

Bagi beberapa kalangan, Bung Karno adalah inspirator gerakan Non Blok dan bangkitnya negara-negara Asia-Afrika. Ide Berdikari-nya membakar semangat rakyat Marhaen di seluruh penjuru negara yang dikunjunginya.

“Jika Berdikari telah menjadi dasar negara berkembang, maka benteng lonceng kematian imprealisme semakin dekat,” begitulah kiranya Bung Karno menegaskan dalam sebuah pidato.

Namun di balik sisi ketangguhannya di podium yang mengagumkan, Bung Karno menyimpan banyak misteri. Bung Hatta Wakil Presiden Indonesia yang beberapa kali mendampingi Bung Karno di beberapa kabinet adalah saksi kuncinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat banyak perbedaan pandangan politik antara diri Bung Karno dan Bung Hatta. Hingga akhirnya Bung Hatta menanggalkan posisi wakil presiden di pertengahan tahun 50an.

Bung Karno menginginkan terciptanya partai tunggal untuk membantu konsepsinya dalam menjalankan Berdikari, Nasakom, Tri Sakti, dll. “Revolusi belum selesai,” Bung Karno meyakinkan.

Bung Hatta berpandangan lain. Baginya revolusi telah selesai seiring merdekanya Indonesia. Hatta menginginkan adanya multi partai dalam menjalankan konsepsi bernegara dan menentang keras akan Demokrasi Terpimpin ala Sukarno, termasuk klaimnya akan presiden seumur hidup.

Menurut Hatta, alamat bernegara usai kemerdekaan adalah menjalankan pembangunan dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Keberadaan partai tunggal hanya akan menimbulkan pemimpin yang otoriter dan itu bertentangan dengan konsep demokrasi.

Akhirnya kepemimpinan dwitunggal pun sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Hatta berseloroh, “Kini dwitunggal sudah tidak ada, yang ada hanya dwitanggal.” Hatta pun mundur dengan kebesaran hatinya. Ia tidak mau memberikan contoh dan dampak negatif kepada rakyat jika pemimpinnya saja berseteru.

Untuk ‘mengobati’ rasa kecewanya akan pendirian Bung Karno, Hatta ‘menyerang’ konsepsi Bung Karno dengan bukunya Demokrasi Kita. Sedangkan Bung Karno melanjutkan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya dengan dibayang-bayangi Partai Komunis Indonesia yang saat itu sedang populer.

Bagai telur di ujung tanduk, Bung Karno sama sekali tak bisa berkutik saat kursi kepemimpinannya goyah. Benar saja, Panglima Besar Revolusi itu pun tidak menjadi presiden seumur hidup. Pemberontakan komunis dan kudeta militer menyingkirkannya dari kursi nomor satu di negara Pancasila ini.

Bung Karno dijatuhkan, dijadikan tahanan rumah, dan akan diadili. Hingga akhir hayatnya Bung Besar tak jua didudukkan di meja hijau. Usianya yang kian lanjut membuatnya tak berdaya. Ia kesepian. Istana mewah tempat ia meneriakkan kebangkitan kepada kaum marhaen tak lagi menjadi pelabuhannya. Ia terbaring lemas di ranjang pengakhirannya.

Raga Singa Podium pun sudah tiada, tapi jasa-jasa besarnya masih kita rasakan hingga sekarang. Bung Karno adalah manusia bukanlah dewa. Yang membuat ia besar adalah usaha, cita-cita, dan kecintaan yang teramat besar bagi Indonesia. Jika menjelang ajalnya Muhammad berkata, “Umatku, umatku, umatku!” Pun jangan kita lupakan akan pesan Sukarno kepada kita, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.”

Mari kita maknai jasa-jasa pahlawan Indonesia dengan hal-hal positif!